Pages

Selasa, 29 Maret 2011

Kesenian Tari Gandrung Khas Banyuwangi



Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.


Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.

Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895.Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti dangdut dan campursari.

Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Using yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat.

Tari gandrung pun sudah berkembang hingga ke Lombok dan Bali. "Di Bali, tari gandrung itu kini lebih dikenal dengan tari `joged muani`, yang juga mengemban misi sebagai tari pergaulan yang cukup digandrungi anak-anak muda," kata Kadek Suartaya SKar, MSi, dosen Program Studi Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, kemarin.

Ia mengatakan, tari pergaulan di Banyuwangi, Bali dan Sasak, Lombok itu memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing.

Di Banyuwangi tari gandrung hingga kini masih menunjukkan plah tingkah penari yang bernuansa kemesraan, sedangkan di Lombok berlenggang-lenggok riang. Untuk di Bali, selain menarinya begitu atraktif, juga bergoyang pantat dengan sorot mata "menantang".

Namun demikian, kata dia, di Bali kini tidak banyak lagi ditemukan seni `joged` yang penarinya adalah kaum lelaki itu.

Suartaya yang sering memperkuat tim kesenian Bali untuk mengadakan pentas ke mancanegara menambahkan, seni pertunjukan sejenis gandrung sesungguhnya juga banyak dijumpai di sejumlah daerah di Nusantara.

"Kesenian itu masih satu `genre` dengan ketuktilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali," ucapnya.

Bila gandrung dibawakan oleh lelaki, joged bumbung di Bali tampil dengan penari wanita yang kemudian berjoget berpasangan dengan penari pria yang muncul dari kalangan penonton pertunjukan.

"Jadi, seorang wanita penari profesional, menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik gamelan `gerantang` yang terbuat dari bilah bambu," tutur Suartaya.

Penampilannya senantiasa disertai unsur-unsur erotisme seperti juga dalam tari ronggeng di Jawa Barat.

Pada masa lalu, penari gandrung memang banyak mengundang debar asmara kaum pria, padahal para penari gandrung itu sendiri adalah laki-laki.

Di Banyuwangi kesenian gandrung pada awalnya dilakoni oleh kaum pria, setidaknya hingga tahun 1890-an. Baru pada tahun 1914 penari wanita dihadirkan setelah kematian penari pria terakhir, Marsam.

Penari gandrung wanita pertama Banyuwangi bernama Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan, yang kemudian berkaul, jika sembuh akan menjadi penari gandrung.

Berbeda dengan di Banyuwangi, di Bali hingga kini tari gandrung masih dibawakan penari laki-laki. Salah satu grup seni pertunjukan gandrung yang masih bertahan adalah Sekaa Gandrung Banjar Ketapian Kelod, Denpasar, yang masih mempertahankan penari pria.

Kesenian gandrung yang disakralkan oleh komunitasnya itu lebih menampilkan diri sebagai presentasi estetik. Melalui iringan musik bambu yang disebut gerantang, gandrung Bali menyuguhkan raga keindahan tari yang lazim dijumpai dalam tari klasik legong keraton.

Suartaya menambahkan, seperti halnya di Banyuwangi, diduga kuat tari gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria.

Gandrung Lombok yang kini lazim dibawakan kaum wanita itu masih eksis sebagai sajian yang menampakkan karakter tari Bali dan Banyuwangi.

Nuansa Bali tampak kental pada tata tarinya yang sebagaian besar memakai perbendaharaan gerak tari tradisional Bali. Unsur Banyuwangi dihadirkan dalam balutan busana, khususnya pada gelungan atau tutup kepala penarinya.

Struktur penyajian gandrung Lombok adalah bapangan, tangis, penepekan, dan pengibingan. Pada bagian pengibingan, penonton pria masuk ke arena pentas berpasangan dengan sang penari.

Urut-urutan penampilan gandrung Lombok tersebut hampir sama dengan tari joged bumbung di Bali, di mana bagian terakhir, pengibingan, yang paling ditunggu-tunggu partisipan pria dan penonton pada umumnya, ujar Kadek Suartaya.
Sumber bisa dilihat disini dan disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar